SiNaU
Tokoh dan Perwatakan
Politikus
Lelaki yang tegas dan ingin menang sendiri, telanjang dada dan memakai dasi, sebagai atribut dengan gerakan-gerakan yang kaku namun ritmis sesuai dengan karakternya.
Ekonom
Lelaki lembut yang menjelma dari keberadaan dunia, dengan pakaian dalam saja sebagai perangkatnya, menunjukkan karakternya yang serba bias dalam berkamuflase.
Budayawan/Seniman
Lelaki tua yang muncul pada setiap putaran waktu, dengan penampilan yang serba lugas, lengkap dengan tipikal gerakannya yang cenderung meronta demi menuntaskan segala gejolak kreativitasnya.
Agamawan
Lelaki tua yang muncul pada setiap putaran waktu, dengan penampilan yang serba tegas, lengkap dengan tipikal gerakannya yang cenderungarogan dan sesekali memberikan keteduhan bagi orang lain.
Tentara
Lelaki paruh baya yangdicat hitam seluruh tubuhnya, lengkap dengan tipikal gerakannya yang cenderung statis seperti robot.
Orang Gila
Pemuda paruh baya yang labil, lengkap dengan pakainyya seperti gembel, sesuai dengan karakternya yang mencerminkan kegilaaan akan perubahan yang serba fluktuatif tanpa kepastian yang kongkret.
Durasi dan Sketsa Tekstual
Serial drama yang bersifat eksperimental ini, dapat berlangsung sekurang-kurangnya selama 25 menit. Karena itu tidak mengherankan, jika duplikat dari konvensi batin ini dapat berlangsung kapanpun dan dimana saja, selama fluktuasi nasionalisme yang diusung oleh beberapa pihak tidak bertemu dalam satu cawan kesepahaman seperti yang telah termaktub dalam kesepakatan politik para pendiri bangsa.
Historika Penggarapan
Negeriku…Meratap hanyalah sebuah eksplorasi rasa dari
dinamika kehidupan berbangsa!
Tapi di dalamnya ada seruling kematian, lesuhnya altar pertemuan dalam
membentuk konsepsi serta berbagai almanak kehidupan yang belum bisa diajak bersenggema dan menghadirkan sebuah keselarasan dalam beri’tikad dan berbuat,
di mana kinayah-kinayah ini erat sekali dengan keberadaan zaman serta berbagai rezim didalamnya yang acapkali menitipkan tongkat estafet bangsa pada generasi sesudahnya disertai dengan penanaman benih peradaban dari bentang sejarah yang acapkali dijadikan sebagai acuan konspirasi dan kepentingan pribadi
dalam melanggengkan sebuah citra diri, kewibawaan semu
dan malah-malah dijadikan sebagai penentraman siklus pemerintahan.
Namun itulah sketsa negeri ini yang kian meranggas di sepanjang
lawatan sunyi, lengkap dengan ide cerita yang dapat dirasa absurd
dan cenderung mengandung nilai inspiratif yang multi penafsiran.
Tentu saja, karena latar dari dimensi yang melingkupi nuansa di
dalamnya --baik dari muatan dialog maupun pengadeganan
yang ditonjolkan-- merupakan bagian dari sekian banyak konflik
kehidupan manusia berbangsa, yang senantiasa jadi perdebatan dalam
setiap konspirasi batin dan intelektualitas. Atau jangan-jangan…
malah sudah menjarah pada tiap jengkal ranah sensasi
yang nyaris tercerabut dari akar ritual diri!
Synopsis
“Waktulah yang menakdirkan kita tiba di tengah taman yang hiruk pikuk, di mana kinayah ini erat sekali pengalihan tongkat estafet bangsa pada generasi sesudahnya namun acapkali disertai dengan penanaman benih racun peradaban dari bentang sejarah yang acapkali dijadikan sebagai acuan konspirasi dan sarat kepentingan pribadi demi melanggengkan sebuah citra diri, kewibawaan rezim dan malah dijadikan sebagai metode penentraman dan penyelamatan siklus pemerintahan
sedang gurat tanah yang kita pijak, menumbuhkan pohonan mimpi yang menjalar ke angkasa, lalu langit, dengan temaram cahaya pun memagari resah, tapi masih saja kita berharapan digerbang-gerbang usia, sampai waktu yang kita pinjam mengubur seluruh kenangan dalam geneology kebenaran yang pantas kita ketahui…”
Prolog
Fantasi Kebenaran
By: Akhmad Sidik
Sejenak kami mengadu
Pada dunia yang kian lusuh
Memperkosa hasrat dan kesempatan
Padamu kami mengadu
Menelanjangi kemilau rintih
Dari kedalaman rindu akan kebenaran
Apakah ini kebenaran
Yang tergadai atas nama kemakmuran
Kami tanyakan ulang
Apakah ini kebenaran
Yang terselip dalam saku kepentingan
Segmen Satu
Disebuah panggung yang lempang dan tenang, hanya disinari oleh enam puluh empat buah lilin merah putih. Di tengahnya ada satu set bendera merah putih yang dikibarkan oleh semilir angin yang melandai. Sayup-sayup masuk sosok tentara dengan tegasnya sambil memicingkan matanya ke sekeliling panggung, laksana elang yang mengintai dan siap menerkam mangsanya, sambil terus berjalan menuju ke pojok panggung yang telah menjadi sebuah panggung kecil layaknya tempat pengintaian bagi seorang intelejen. Melalui hembusan angin lamat-lamat masuk empat sosok dengan langkah gontai nan ritmis memasuki area permainan dan memutari lingkaran lilin, sambil bermain-main dengan karakter masing-masing tokoh yang dibawahinya, meraka terus bermain-main menunjukkan gerakan yang exploratif dan menegaskan karakter tokoh yang dibawahinya sambil sesekali bercanda dengan memandangi lingkungan sekitarya. Tak urung mereka terus berputar-putar mengelilingi lingkaran lilin sambil memerankan beberapa idiom dari karakter tokoh masing-masing yang dibawahinya, sampai pada putaran pertama dari lingkaran lilin tersebut dengan sekali hentakan mereka pun berubah karakter sedikit linglung dan condong sebagai sosok manusia normal yang penuh misteri dan dipenuhi beban yang menumpuk dipundaknya. Dari gerakan landai sampai pada gerakan-gerakan atraktif yang menghentak dan semakin cepat beraktivitas memutari area tersebut.
Sampai pada tiga kali putaran yang sempurna, pelan-pelan keempat sosok tersebut balik pada karakter pemeranan dibawahinya sejak awal, namun disisi panggung yang lain sosok Tentara dengan wajah kaku yang sedari tadi cuma memperhatikan keempat sosok sedang beraktivitas tersebut lambat laun mulai gusar dan terus mengawasi sambil mondar-mandir dari kanan ke kiri laksana intelejen yang sedang mengawasi buruannya, dengan langkah gontai dan derap tubuhnya yang terpatah-patah seperti robot yang bergerak, laksana mechanical system beroperasi jika dapat intruksi dari pemegang remote controlnya.
Segmen Dua
Masih dalam panggung yang sama di mana empat sosok yang sedari tadi berada dalam lingkaran sampai pada tiga kali putaran yang sempurna, pelan-pelan keempat sosok tersebut balik pada karakter pemeranan yang dibawahinya sejak awal, sambil terus meng-eksplorasi gerakan tubuhnya sehingga nampak sekali gesture dan irama ritmis yang ciamik tergelar dari perhelatan ragawi keempat tokoh tersebut... sambil berjalan melingkari area permainan, keempat tokoh tersebut masih berbaris beriringan sampai pada saat terciptanya beberapa senandung kehidupan serta kalimat-kalimat interpretatif, yang justru terkesan sebagai rangkaian narasi dari dalam jiwa karakter masing-masing tokoh…
01. Politikus : [Sambil melayang tegas] “ehm... dibui, [sambil mencibir] dibuang, [agak terserak, dan sedikit gemetar] dibunuh.”
02. Ekonom : [penuh harap dan keyakinan] “sedikit, untung banyak, banyak, untung sedikit.”
03. Budayawan : [Sambil mempermainkan lentik jemarinya serta gerakan ritmis] “estetik, etika, ekspresif”.
04. Agamawan : [Seperti menahan kesabaran] “kebenaran yang semu, dogma yang diperjualbelikan, ikhlas yang dinotakan”.
05. Politikus : [Terkesan meledek] “bah...dibui, dibuang, dibunuh”.
06. Ekonom : [Terlihat gugup sambil melihat penampilannya] “modal dikit, laba berlimpah”.
07. Budayawan : [Masih sibuk meng-eksplorasi tubuhnya] “Hah, rupa estetik... kesan etika, wuih... sikap ekspresif?!”.
08. Agamawan : [Langsung memotong] “Tentu saja! Dunia tempat bermain, irama al-kitab berteduh pada pemanis bibir”.
Dengan beberapa hentakan dari sang Politikus yang berada digarda depan barisan tersebut, semakin mempercepat langkah beserta dialog sambung-menyambung dari tokoh-tokoh tersebut, di saat dengan peristiwa tersebut sang Tentara mulai berjalan mondar-mandir layaknya mengintai atau memata-matai gejolak masyarakat yan ada dibawahnya...
09. Politikus : [Dengan nada protes dan sedikit temperamen] “dibuih”.
10. Ekonom : [Makin gencar dan tegas] “sedikit, untung banyak!”.
11. Budayawan : [berteriak nyaring dalam nada yang lantang] “estetik”.
12. Agamawan : [menawarkan dengan penuh harap] “kedamaian?”.
13. Agamawan : [mengajak] “kekekalan”.
14. Budayawan : [sedikit membenarkan alibinya] “etika”.
15. Ekonom : [mencibir dua penawaran tokoh sebelumnya] “Bah...Modal dikit, laba besar”.
16. Politikus : [menertawakan sejenak] “ha...ha..dibuang”.
17. Politikus : [dengan bahasa persuasif dan mimik meyakinkan] “jelas dibunuh”.
18. Ekonom : [menertawakan sejenak] “belum... banyak untung sedikit”.
19. Budayawan : [tercengang] “Jiancok... keluh ekspresif”.
20. Agamawan : [terperanjat] “ada batas benar”.
Dengan berakhirnya dialog-dialog tersebut bersamaan dengan keempat tokoh mempati posisi dan tablo pada empat penjuru lingkaran yang menjadi area permainan mereka.
Segmen Tiga
Seiring dengan keaadan statis masing-masing tokoh tersebut, Tentara tetap pada aktivitasnya mengintai fluktuasi gerakan masyarakat bawah.
Dalam keadaan yang statis tersebut perlahan-lahan empat tokoh yang berada dalam lingkaran mencoba memandangi dan mengamati keberadaan bendera yang ada ditiangnya dengan penuh pertanyaan. Sampai pada kesepahaman yang didapatinya tersebut, mulailah politikus membuka ruang dan mencoba mendekati bendera tersebut sambil berdialog...
01. Politikus : [menertawakan sejenak] “ha...ha..dibuang, di bui, dibunuh”. [langsung mendekati bendera dan statis didekatnya]
02. Ekonom : [penuh semangat] “modal dikit, laba berlimpah”. [langsung mendekati bendera dan statis didekatnya]
03. Budayawan : [penuh semangat] “Etika yang estetik”. [langsung mendekati bendera dan statis didekatnya]
04. Agamawan : [penuh tanya] “entitas moralitaskah”. [langsung mendekati bendera dan statis didekatnya]
Dengan gerakan-gerakan yang lentur dan atraktif terjadilah simbol negoisasi dari keempat tokoh tersebut, dengan tendensi siapakah yang lebih berhak terhadap bendera tersebut...
Dengan pandangan yang membelalak ke arah tiga sosok tokoh didepannya sambil tetap mengamati pemandangan di depannya, dengan segenap kecemasan yang mengalir dari batinnya, dalam satu gebrakan spontan dan tegas Agamawan langsung meraih tongkat bendera tersebut, diiringi beberapa tokoh yang lain.
Layaknya pertarungan siapakah yang berhak mendapat dan membawahi bendera tersebut terjadilah idiom pergumulan politik, yang syarat intrik dengan beberapa gerakan yang lentur dan atraktif dari keempat tokoh tersebut, melandai dengan pelan sambil berputar memperebutkan bendera, makin lama gerakan tersebut makin cepat, dan pada putaran ketiga terjadilah kontak langsung akibat pergumulan tersebut sampai-sampai keempat tokoh tersebut terpelanting dari tonggak bendera yang mereka perebutkan.
Dari kejauhan Tentara yang dari tadi terus mengintai dan mengawasi pergumulan tersebut mencoba tegap dan sigap sambil melangkah terpatah-patah memasuki area pergumulan, mendekat sambil menebarkan pandangannya kepada keempat tokoh yang sudah terpelanting dan statis.
Dengan penuh semangat akhirnya Tentara tersebut mencoba membawa bendera yang diperebutkan tadi, namun dalam posisi siap membawa tesebut tentara tersebut melekat dan statis layaknya termagnet pada tonggak bendera tersebut... dan tidak lama kemudian terdengar orang rakyat yang tertawa dan lamat-lamat memasuki area permainan tadi.
Sambil cengengesan dan sedikit-sedikit termenung dan selang beberapa menit menangis, sambil mengitari area dan menghampiri, mengamati beberapa tokoh yang dari tadi sudah statis pada posisi masing-masing. Sambil terus melihat dan melemparkan pandangannya pada bendera yang diperebutkan dan akan dibawah oleh tentara.
Sambil melangkah gontai layaknya rakyat yang dibingungkan oleh keadaan sehingga berakibat belum nampaknya perubahan yang memihak kepada rakyat... sejurus kemudian rakyat tersebut mendekati level/podium kecil yang ada didepannya.
Sesekali melemparkan pandangannya kesemua penjuru sambil berkaca-kaca rakyat tersebut mengambil sebuah lontar dan seiring dengan instrumental lagu “Indonesia Raya” mulailah rakyat ersebut membaca tulisan yang ada pada secarik lontar tersebut.
01. Rakyat : [Tegas dan bewibawa] “Pancasila”.
02. Rakyat : [tertawa sinis dan cengengesan] “Hari ini”
1. Kesetanan yang maha esa
2. Kebinatangan yang degil dan biadab
3. Perseteruan Indonesia
4. Kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan
dalam perkerabatan/perkawanan
5. Kelaliman sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sampai pada selesainya instrumentalia lagu “Indonesia Raya”, sayup sayup diteruskan dengan lagu “Padamu Negeri” yang diaransement ulang dengan begitu melankolis dan menyayat hati, yang dikumandangkan oleh kerumunan penonton dan lamat-lamat para aktor berbenah dan berjajar didepan sang bendera dan ikut menyanyika lagu “Padamu Negeri” sampai selesai dan pada akhirnya mereka pun memberikan penghormatan terakhir terhadap bendera sebagai akhir dari pementasan ekspriment ini...